Pertama adalah
masalah kepribadian (kehidupan pribadi). Dalam gereja, kepribadian seorang
pemimpin jemaat sangat menentukan keberhasilan dalam pelayanan. Misalnya
sebagai seorang pemimpin jemaat secara pribadi gagal dalam berumah tangga atau
gagal dalam kehidupan pribadinya, ia tidak dapat dipercaya dalam bidang
pergaulan atau dalam bidang keuangan, maka itu sangat berpengaruh atas seluruh
tugas dan kepemimpinannya. Seringkali ditemukan pemimpin jemaat yang gagal melaksanakan
tugas pelayanannya karena kepribadian yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Jatuh bangunnya seorang pemimmpin jemaat bergantung pada kehidupan
kepribadiannya. Seorang pemimpin jemaat haruslah berkepribadian terbuka dan
tidak kaku, sedia menerima pendapat orang lain dan mudah mengaku salah kalau
memang bersalah.
Kedua, masalah
kerohanian. Selain kepribadian, kerohanian merupakan prinsip utama dalam
kepemimpinan jemaat. Kekuatan pemimpin jemaat tidak diukur dari yang dapat
dikerjakan, tetapi dikukur dari hubungannnya dengan Tuhan. Firman Tuhan berakar
ke bawah dan berbuah ke atas (Mzm.1:3; Yes:37:31) dan dari kutipan firman Tuhan
ini dengan jelas bahwa berakar ke bawah menggambarkan iman. Kemantapan rohani
seorang pemimpin jemaat menentukan buah ke atas, yaitu buah-buah dalam
pelayanannya. Kekuatan seorang pemimpin jemaat dapat dibuktikan dalam
kemantapan pengertian, penghayatan, pengamalan prinsip-prinsip rohani dalam
hidupnya, dalam keputusannya dan dalam tindakannya. Pengutamaan ketaatan kepada
Tuhan dan firmanNya merupakan ciri-ciri khusus dalam kepemimpinan Kristen.
Untuk dapat mengevaluasi dan mengoreksi diri sendiri apakah kepemimpinan dalam
jemaat memiliki kerohanian yang matang dapat dilihat dalam sikap mempercayakan
diri kepada Allah, mengutamakan pengenalan akan Tuhan dan sesama manusia,
mencari kehendak Allah. Keberhasilan dalam kepemimpinan di tengah pelayanan
juga terletak pada penyangkalan dirinya. Seorang pemimpin jemaat haruslah
memiliki motivasi untuk mengasihi Allah dan sesama manusia, bergantung
sepenuhnya kepada Allah dan mudah menghargai kawan sekerja dan sepelayanannya.
Berdasarkan pilihan Allah, Majelis Gereja memiliki kedudukan
yang sama dengan warga jemaat, artinya sebagai pengikut Kristus semua adalah
gembala bagi sesamanya yang harus saling mengasihi dan melayani demi
pertumbuhan bersama menuju pada pengenalan dan pergaulan dengan Allah yang
menyelamatkan. Hanya saja Majelis Gereja memiliki kekhususan dalam tugas dan
fungsi yaitu melengkapi anggota jemaat mencapai kesatuan iman dan pengetahuan
yang benar supaya dapat menempatkan dirinya sebagai pengikut Kristus yang dapat
menjadi saksi secara nyata bagi sesamanya dalam keseluruhan hidupnya. Dalam
Efesus 4 : 12-13 mengandung makna bahwa Tuhan Yesus yang telah memperlengkapi “orang-orang
kudus” (orang-orang yang telah dipilih dan orang-orang kepercayaan Tuhan Yesus
untuk pekerjaan pelayanan untuk penggembalaan terhadap jemaat selaku kawanan
domba milik Allah), bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus,
sampai jemaat mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak
Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan
Kristus.
Dengan demikian dipahami bahwa fungsi Majelis Gereja dalam
kepimpinan adalah memimpin dan menggembalakan jemaat. Majelis Gereja dalam
kerendahan hati sebagai seorang hamba membimbing jemaat mengarah kepada
kedewasaan iman kepada Yesus Kristus dan memahami eksistensi diri mereka
sebagai bagian dari alat Tuhan untuk melibatkan diri secara nyata untuk menciptakan
damai sejahtera dalam drinya, hidup bersama jemaat maupun dalam kehidupan
bersama-sama dengan orang lain dalam bermasyarakat. Oleh sebab itu kewibawaan
dan keteladanan dari Majelis Gereja dalam keseluruhan hidupnya menjadi kunci
untuk menjadi seseorang penolong bagi sesamanya.
Dalam pribadi Yesus dapat ditemukan sikap kesetiakawanan
dengan orang-orang yang rendah dan yang berdosa jika dikaitkan dengan tokoh
Hamba Allah (Ebed Yahwe) dari kitab Deutero-Yesaya. Bahwa Hamba yang menderita
menerangkan kepada gereja perdana tentang riwayat dan nasib Yesus. Pelayanan
dan penderitaan adalah cirri jalan hidup Yesus. “Aku ada ditengah-tengah kamu
sebagai pelayan” (Luk. 22:27). “Anak menghargai kawan sekerja dan
sepelayanannya.
Petrus Octavianus, dalam buku yang berjudul “Kepemimpinan
dan Pembinaan Warga Gereja”, menyebutkan bahwa kepemimpinan yang berfungsi dan
berwibawa biasanya ditentukan oleh 7 nilai utama, yaitu :
- kerohanian yang mantap. Seorang pemimpin harus mempunyai standar rohani yang dapat dipegang oleh orang-orang yang dipimpinnya.
- kesanggupan dalam menjalankan tugas. Seorang pemimpin yang semakin sungguh-sungguh dan tekun menjalankan tugasnya semakin besar wibawanya terhadap orang yang dipimpinnya.
- motivasi. Seorang pemimpin rohani adalah bagai suatu etalase terbuka, sehingga motivasi dalam pelayanan dan dalam menjalankan tugasnya tidak dapat disembunyikan. Kemurnian motivasi dalam menjalankan tugas demi kepentingan pelayanan dan demi tujuan lembaga adalah hal yang lebih penting.
- sikap. Ada 3 sikap utama yang dimiliki pemimpin Kristen, yaitu sikap terhadap Tuhan, sikap terhadap tugas dan pelayanan, sikap terhadap orang-orang yang dipimpin. Sikap terhadap Tuhan akan menentukan dalam hubungannya dengan kedua sikap yang lainnya. Sikap terhadap orang-orang yang dipimpin harus didasari sikap melayani bukan dilayani.
- pengorbanan. Semakin besar pengorbanan seseorang sebagai pemimpin Kristen akan semakin besar wibawa rohaninya. Pengorbanan dalam arti harta benda, waktu, kesenangan (hobby), kedudukan karena pelayanan termasuk penyangkalan diri. Falsafah manajemen Kristen adalah sesuai teladan Tuhan Yesus. “Aku datang untuk melayani, bukan untuk dilayani.” Oleh sebab itu, falsafah manajemen Alkitabiah ialah memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang lain dalam menyelesaikan tugas mereka. (Management Is meeting the need of others as they work at accomplishing they jobs).
- cara membuat keputusan. Membuat keputusan merupakan nilai yang paling sulit dalam kehidupan pemimpin Kristen, karena setiap keputusan berakibat jauh dan luas. Hikmat dalam keputusan sesuai kebijksanaan dari atas, dari Tuhan, dalam pimpinan Roh Kudus, mutlak diperlukan setiap pemimpin Kristen. Keputusan itu harus berasal dan sesuai dengan Firman Allah serta membawa sejahtera bagi yang dipimpin/dilayaninya.
- penglihatan atau visi. Seorang pemimpin yang berwibawa diperlukan kemampuan melihat ke depan untuk 10-25 tahun yang akan datang. Antisipasi jauh ke depan sambil membaca kesempatan (opportunity) dan ancaman (threat) dari perubahan zaman ini sangat terkait dengan kehidupan spiritual dan ilmu pengetahuan (spirituality and science) yang dimilikinya. Tanpa visi (vision) seorang pemimpin tidak akan sanggup melahirkan ide kreativitas intelektualnya untuk menjawab setiap perubahan yang ada disekitarnya.
Terkait dengan jabatan Majelis Gereja, Majelis Gereja dipahami sebagai jabatan yang berfungsi untuk memimpin
dan melayani, bukan untuk menguasai orang lain. Kepemimpinannya adalah
kepemimpinan melayani. Konsep ini harus berangkat dari kesadaran diri yang tinggi
dari seseorang karena kedudukannya, yang secara khusus dipilih dan dipercaya
untuk secara aktif dalam totalitas hidupnya sebagai Majelis Gereja untuk
mengemban amanat Tuhan Yesus dalam menciptakan dan membimbing jemaat ke dalam
suasana damai sejahtera didalam kehidupannya. Kedudukannya sebagai “pemimpin
pelayan” (Leader of servant) menempatkan dirinya sebagai pembimbing rohani
jemaat. Wewenang dan kuasa Majelis Gereja bukan wewenang atau kuasa yang
bersifat duniawi, tetapi secara rohani; sebagai hamba Tuhan Yesus Kristus, Raja
dan Kepala Gereja.
Dengan demikian haruslah dipahami bahwa fungsi Majelis
Gereja dalam kepemimpinan akan berjalan baik jika pemimpin mau
bergaul/bergabung dengan jemaat atau ber-asosiasi, sebagaimana Yesus bergaul
dengan manusia, sekaligus memimpin dan menggembalakan jemaat itu.
Majelis Gereja dalam kerendahan hati sebagai seorang hamba
membimbing jemaat mengarah kepada kedewasaan iman kepada Yesus Kristus dan
memahami eksistensi diri mereka sebagai bagian dari alat Tuhan untuk melibatkan
diri secara nyata untuk menciptakan damai sejahtera dalam dirinya, hidup
bersama jemaat maupun dalam kehidupan bersama-sama dengan orang lain dalam
bermasyarakat. Oleh sebab itu kewibawaan dan keteladanan dari Majelis Gereja
dalam keseluruhan hidupnya menjadi kunci untuk menjadi seseorang penolong bagi
sesamanya.
[1] J.H. Wirakotan, et.al. Kepemimpinan dan Pembinaan Waga
Gereja (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1998), hlm.223-225.
[2] LPK GKJ & GKI, Pedoman Hidup Bergereja ( Yogyakarta
: Percetakan LPK, 1993), hlm. 18
1 comments:
Terima kasih ...
Bagi saudara yang sedang mencari ebook rohani, silakan kunjungi kami di http://visichristianstore.com/?product_cat=e-book.
Tuhan memberkati.
Post a Comment