Saat ini kita mengenal sebuah
istilah populer yang berkaitan dengan kecerdasan. Yakni: IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient)
dan SQ (Spiritual Quotient).
IQ (Intelligence Quotient) ialah
istilah kecerdasan manusia dalam kemampuan untuk menalar, perencanaan sesuatu,
kemampuan memecahkan masalah, belajar, memahaman gagasan, berfikir, penggunaan
bahasa dan lainnya. Anggapan awal bahwa IQ adalah kemampuan bawaan lahir yang
mutlak dan tak dapat berubah adalah salah, karena penelitian modern membuktikan
bahwa kemampuan IQ dapat meningkat dari proses belajar.
Sekarang ini hampir
sulit menemukan ada istilah lain selain IQ yang demikian sangat mempengaruhi
seseorang dalam memandang diri mereka sendiri dan orang lain. Adalah psikolog
berkebangsaan Prancis, Alfred Binet, yang pada tahun 1905 menyusun suatu test
kecerdasan terstandardisasi untuk pertama kalinya. Pada awalnya Binet justru
merancang test kecerdasannya ini untuk mengidentifikasi pelajar-pelajar di
sekolahnya saat itu yang membutuhkan bantuan khusus, dan bukannya untuk mencari
anak-anak yang berbakat luar biasa seperti yang berlangsung di kemudian hari.
Lebih jauh lagi, Binet berusaha untuk memastikan bahwa anak-anak yang memiliki
persoalan-persoalan dalam perilaku ini tidak lantas dianggap secara
terburu-buru hanya sebagai orang yang bodoh/tidak cerdas.
Awal tahun 1996 istilah EQ (Emotional Intelligence) diusulkan oleh Daniel
Goleman dalam bukunyaEmotional Intelligence.
EQ (Emotional Quotient)
Kecerdasan emosional
adalah kemampuan pengendalian diri sendiri,semangat, dan ketekunan, serta
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi,
kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan
kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain
(empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan
untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan
sekitarnya.
Orang yang EQ-nya baik, dapat memahami perasaan orang lain,
dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap bahasa verbal
dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya agar bersikap sesuai
dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya Dapat dimengerti kenapa orang yang
EQ-nya baik, sekaligus kehidupan sosialnya juga baik. Tidak lain karena orang
tersebut dapat merespon tuntutan lingkungannya dengan tepat.
Contoh akan kurangnya EQ orang spt berikut :Orang Parkir kendaraan. Berapa banyak
orang sekarang dalam hal memarkirkan kendaraan mereka baik motor atau mobil
sembarangan dan sesuka hati mereka
dengan tidak memperdulikan orang lain.
Contoh lain adalah saat ini banyak kasus penceraian
adalah kerana pasangan suami dan isteri tidak saling memahami perasaan
masing-masing. Mementingkan rasa dan perasaan sendiri. Suami terlalu ego dan isteri
terlalu sensitif akhirnya jalan terakhir adalah perceraian.
Di dalam pendidikan anak ada beberapa contoh untuk
meningkatkan EQ mereka spt :
1) Mendidik anak-anak untuk bertahan dalam
situasi sulit.
Ada cerita nyata tentang sekelompok anak yang pergi ke gunung untuk piknik.
Mereka tersesat dalam perjalanan pulang dan harus menghadapi malam dalam
keadaan lapar, lelah dan penuh ketakutan. Mereka merasa tidak punya harapan dan
malam itu dilalui dengan penuh air mata. Salah satu anak berkata sambil
menangis: Tidak ada yang akan menemukan kita dan kita semua akan mati di sini.
Namun, Evelyn yang berumur 11 tahun berdiri dan berkata dengan tegas:
"Tidak! Saya tidak akan mati! Ayah saya mengatakan bahwa selama kita
berjalan mengikuti aliran, aliran akan membawa kita ke sebuah sungai, yang pada
akhirnya membawa kita ke sebuah kota kecil. Saya berencana untuk berjalan di
sepanjang sungai, kalian boleh mengikuti saya jika mau. Dipimpin oleh Evelyn,
mereka berhasil keluar dari hutan. Kepercayaan diri, keberanian dan tekad yang
dimiliki oleh Evelyn bukanlah sifat bawaan, tetapi adalah hasil asuhan,
pendidikan dan pengaruh keluarga.
2) Menanamkan ketahanan dan pengendalian diri.
Bagaimana cara melatih anak agar mampu mengendalikan diri? Misalnya, ketika
anak menghabiskan uang saku mingguan lebih cepat dari yang seharusnya, orang
tua dapat berkata: “Jika kamu berhasil menyimpan setengah jatah uangmu minggu
ini, akan Ayah gandakan jumlah uang sakumu minggu depan.Jika kamu terbiasa
menyimpan uang, walaupun itu hanya dalam jumlah kecil, kamu akan mampu membeli
barang yang lebih besar.“
Hal yang sama juga berlaku bagi anak-anak saat menghadapi tantangan, seperti
misalnya gagal ujian atau mendapat nilai tes yang buruk. Orangtua perlu
mendorong anak-anak mereka untuk berusaha lebih keras dan tidak menyerah.
Dengan kata lain, orang tua perlu mengajarkan mereka agar tahan dalam
menghadapi rintangan.
3) Menghadapi dunia luar.
Karena terlalu khawatir, banyak orangtua melarang anaknya pergi ke luar
sendirian. Karena hal ini, anak-anak jadi kehilangan kemampuan untuk
berkomunikasi dan bertemu orang baru. Ketika anak kecil melihat seseorang yang
tidak ia kenal, ia mungkin akan menangis atau memilih menyendiri. Setelah
tumbuh dewasa, mereka menjadi sensitif dan kurang berani untuk berbicara atau
berkomunikasi dengan orang lain. Kurang percaya diri menyebabkan mereka tidak
punya banyak teman. Ketika dewasa, mereka akan sulit mencapai potensi penuh
yang dimiliki serta menghadapi kesulitan berurusan dengan masyarakat. Oleh
karena itu, orang tua harus membantu anak-anak mereka untuk memahami dunia
luar. Orang tua juga harus memberikan kesempatan berinteraksi lebih banyak
untuk anak-anak yang penakut. Seorang anak yang mampu menghadapi masyarakat
tanpa rasa takut juga akan lebih percaya diri saat berhadapan dengan guru dan
rekan-rekannya di sekolah.
4) Menumbuhkan rasa ingin tahu, kreativitas dan
imajinasi.
Anak-anak secara bawaan dilahirkan dengan rasa ingin tahu, sehingga, secara
alami anak kecil akan tertarik menyentuh sesuatu, merasakan hal-hal dan bahkan
membongkar barang-barang yang ia temui. Kadang-kadang, mereka bisa saja membuat
berantakan seisi rumah. Ini adalah ekspresi dari kehausan mereka akan
pengetahuan dan cara yang penting bagi mereka untuk memperoleh keterampilan
baru. Dengan cara ini, mereka juga berusaha untuk memahami bagaimana sesuatu
bekerja. Orang tua harus dengan sabar memenuhi rasa ingin tahu anak. Ini dapat
diwujudkan dengan menunjukkan bagaimana melakukan sesuatu serta menggunakan
barang-barang yang mereka minati.
5) Beri anak-anak kesempatan untuk melatih cara
pikir mereka.
Seorang anak laki-laki tidak bisa menaiki anak tangga karena dia terlalu kecil.
Dia meminta ibunya untuk mengangkatnya. Ibunya berkata: “Kamu bisa
melakukannya, coba gunakan akal dan pikirkan sejenak bagaimana melakukannya.”
Kemudian, anak itu punya. ide: “ Jika saya pindahkan boks mainan saya di sini,
saya dapat menggunakannya untuk pijakan”. Anak itu berpikir dan berusaha
memecahkan masalah berkat nasihat ibunya. Hal ini memotivasi anak untuk
menciptakan solusi. Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak pendekatan masalah yang
bisa dilakukan selama kita mencurahkan waktu sejenak untuk memikirkannya.
6) Menumbuhkan rasa percaya diri dan kemampuan
untuk bangkit dari kegagalan.
Seorang gadis yang adalah pesenam berbakat berumur 12 tahun berbicara dengan
pelatih senam kelas atas. Alih-alih meminta dia menunjukkan keterampilan
senamnya, pelatih memberikan empat anak panah kecil kepadanya. Pelatih kemudian
meminta dia melemparkan anak panah pada target di seberang kantornya. Gadis
kecil dengan takut bertanya: ”Bagaimana jika saya meleset?” Pelatih memberitahu
dia: “Anda harus berpikir tentang sukses, bukan sebaliknya.” Gadis itu
melemparkan anak panah satu demi satu dan akhirnya berhasil mengenai pusat
sasaran. Ajarkan pada mereka untuk pertama-tama berpikir akan kesuksesan, dan
bukan kegagalan.Rasa percaya diri dan sikap positif akan membimbing mereka
menuju jalan keberhasilan. Orang-orang sukses pertama-tama percaya bahwa mereka
dapat berhasil.
7) Menangani masalah harga diri anak.
Tidak dapat dipungkiri bahwa anak akan membuat kesalahan. Jangan selalu
berteriak pada mereka, seperti misalnya: “Mengapa kamu tidak pernah
mendengarkan!” atau “Jangan sentuh ini! Jangan sentuh itu!”. Perkataan-perkataan tersebut melemahkan rasa
percaya diri dan harga diri anak. Jika mereka melakukan perbuatan nakal atau
merepotkan sekali-sekali, itu bukanlah masalah yang besar. Selalu berteriak dan
bereaksi dengan keras terhadap setiap hal yang anak perbuat bisa jadi lebih
berbahaya dan merusak dibanding kerusakan fisik yang anda tanggung pada
barang-barang anda.
8) Lebih banyak dorongan dan dukungan.
Tumbuh berkembang tidak akan pernah mulus sepanjang jalan. Akan ada tawa, air
mata, frustrasi, serta kegagalan. Ketika beberapa aspirasi tidak tercapai,
anak-anak membutuhkan lebih banyak dorongan dan bantuan dari Anda. Jangan ikut
menurunkan semangat mereka. Jaga agar mereka senantiasa merasa terdukung. Mimpi
adalah bahan bakar yang memotivasi kesuksesan.
9) Tanamkan rasa hormat pada orang lain,
kerjasama dan semangat kerja tim.
Masyarakat adalah kelompok kolektif dan semuanya berlangsung melalui hubungan
antarindividu. Itulah sebabnya kita perlu belajar untuk berkomunikasi dengan
semua orang dan saling melengkapi keunggulan satu sama lain. Orang tua harus
mengajarkan anak-anak mereka apa itu kerjasama yang baik. Dengan mengajarkan
mereka untuk menghormati orang lain dan bekerja sama dengan orang-orang yang
memiliki pendapat berbeda, mereka dapat memiliki hubungan interpersonal yang
lebih harmonis.
Zohar dan Marshall mengikutsertakan aspek konteks nilai sebagai suatu
bagian dari proses berpikir/berkecerdasan dalam hidup yang bermakna, untuk ini
mereka mempergunakan istilah kecerdasan spiritual (SQ)
SQ (Spiritual Quotient)
Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ
dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang
upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari
oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2)
nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan
menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu
kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh
persaingan dan konflik.
Tepatnya di tahun 2000, dalam bukunya berjudul ”Spiritual
Intelligence : the Ultimate Intellegence, Danah Zohar dan Ian Marshall
mengklaim bahwa SQ adalah inti dari segala intelejensia. Kecerdasan ini
digunakan untuk menyelesaikan masalah kaidah dan nilai-nilai spiritual. Dengan
adanya kecerdasan ini, akan membawa seseorang untuk mencapai kebahagiaan
hakikinya. Karena adanya kepercayaan di dalam dirinya, dan juga bisa melihat
apa potensi dalam dirinya. Karena setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan
juga ada kekurangannya. Intinya, bagaimana kita bisa melihat hal itu.
Intelejensia spiritual membawa seseorang untuk dapat menyeimbangkan pekerjaan
dan keluarga, dan tentu saja dengan Sang Maha Pencipta. Denah Zohar dan Ian
Marshall juga mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk
menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain. Spiritual Quotient (SQ) adalah
kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ
dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi dalam diri kita.
Dari pernyataan tersebut, jelas SQ saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan,
karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya.
Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang mampu secara proporsional
bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan.
Sogyal Rinpoche mengatakan dalam The Tibet an Book of Living
and Dying, “Spiritualitas sejati adalah menjadi sadar bahwa bila kita saling
tergantung dengan segala sesuatu dan semua orang lain, bahkan pikiran, kata dan
tindakan yang paling kecil dan tak penting memiliki konsekuensi nyata di
seluruh alam semesta”. Semua individu SQ yang tahu mengapa mereka melakukan apa
yang mereka lakukan, selalu bertindak dari misi yang sama, untuk membawa
tingkat-tingkat baru kecerdasan dalam dunia. Orang membutuhkan perkembangan
“kecerdasan spiritual (SQ)” untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh.
SPIRITUALITAS KRISTEN
DEFINISI SPIRITUALITAS KRISTEN
Spiritualitas Kristen adalah keberadaan seseorang yang berada
di dalam relasi yang benar dengan Allah, sesama, dan ciptaan yang lain. Yang
dimaksudkan dengan benar di sini bukan berbicara tentang what is (apa yang
terjadi), melainkan what ought to (apa yang seharusnya terjadi). Pada waktu
kita berbicara tentang apa yang seharusnya terjadi, maka tentu saja sebagai
orang Kristen kita mengacunya pada apa yang dinyatakan oleh firman Tuhan. Sejak
Allah menciptakan segalanya, Ia telah menetapkan:
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia
menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala
binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu
menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman
kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara
dan atas segala binatang yang merayap di bumi" (Kej. 1:26-28).
Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama
dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"
(Mat. 22:37-39).
Ayat-ayat di atas menyatakan bahwa sejak awal manusia
diciptakan untuk menjadi gambar Allah, yaitu seseorang yang mencerminkan
kemuliaan Allah dalam seluruh hidupnya. Setiap manusia harus memperlakukan
dirinya dan sesamanya sebagai gambar Allah. Sedangkan relasi dengan ciptaan
lain adalah relasi antara penguasa dan yang dikuasai, pengelola dan yang
dikelola, serta pemelihara dan yang dipelihara. Semua itu dijalankan
berdasarkan pada wibawa dan aturan ilahi yang diberikan kepada manusia. Manusia
tidak bisa melakukannya sesuai dengan pola pikir dan kehendaknya sendiri ,
ataupun sesuai dengan pola pikir dunia ini yang terus menghantui kita
Jadi, spiritualitas menurut firman Tuhan adalah keberadaan
seseorang yang tahu bagaimana ia harus berelasi dengan Tuhan, sesama, dirinya
sendiri dan ciptaan lain dan hidup berdasarkan apa yang ia tahu tersebut.
Pengetahuan itu sendiri tidak bersumber dari pola pikir manusia melainkan harus
bersumber dari pola pikir Allah yang telah dinyatakan melalui firmanNya. Ia
sebagai Pencipta segala sesuatu di dunia ini, la jugalah yang mengetahui
bagaimana semua ciptaan-Nya harus menjalani kehidupan mereka masing-masing.
TITIK TOLAK SPIRITUALITAS KRISTEN
Spiritualitas Kristen tidak berawal dari hadirnya seseorang
di tempat ibadah atau terlibatnya seseorang dalam aktivitas keagamaan. Kitab Yesaya menyatakan bahwa keterlibatan seseorang dengan berbagai
upacara dan aktivitas keagamaan tidak menjamin bahwa orang tersebut sudah
memiliki relasi yang benar dengan Allah:
Dan Tuhan telah berfirman: "Oleh karena bangsa ini
datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal
hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia
yang dihafalkan,... (Yes. 29:13).
Tuhan Yesus dengan tegas menyatakan:
Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan!
akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak
Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku:
Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi
nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku
akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu!
Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan! (Mat. 7:21-23).
Spiritualitas Kristen diawali pada saat seseorang menjadi
pohon yang baik, yaitu pada saat ia menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat
pribadinya.
Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya
menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang
yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani
oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah (Yoh. 1:12-13).
Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang
baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak
mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon
yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik (Mat. 7:17-18
Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, telah divonis dengan
murka Allah (Rm. 1:18). Maka, ia berada dalam status "pohon yang tidak
baik" yang tidak memungkinkannya untuk menghasilkan "buah yang
baik". Untuk kembali kepada keadaan sesuai dengan tujuan semula Allah
menciptakan manusia, ia harus dilahirkan baru terlebih dahulu (lihat Yoh.
3:1-21). Tentu saja spiritualitas Kristen tidak berhenti sampai di sini
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa spiritualitas
Kristen yang alkitabiah merupakan inisiatif dari Allah dan manusia merespons
sebagaimana seharusnya sesuai dengan iman yang telah dianugerahkan kepadanya.
Namun, itu semua hanyaiah titik tolak yang harus dilanjutkan dengan proses
pengudusan (Ef. 4:23, Kol. 3:10). Anugerah Allah memungkinkan terjadinya
transformasi pada diri seseorang untuk menjadi serupa dengan Kristus. Hal itu
dimungkinkan dengan adanya peran Roh Kudus dalam diri orang percaya (Tit. 3:5)
sehingga manusia kembali dimungkinkan untuk menjadi gambar Allah yang
mempermuliakan Allah sesuai dengan tujuan Allah sejak penciptaan (Ef. 2:1-10).
Di bawah ini kita akan melihat bagaimana firman Tuhan secara rinci menjelaskan
tentang semua itu.
KRITERIA SERTA PROSES PERTUMBUHAN SPIRITUALITAS KRISTEN
Rupanya seseorang yang telah menjadi anak Tuhan tidak secara
otomatis akan langsung hidup sebagai anak Tuhan, seperti yang dikatakan oleh
Tuhan Yesus kepada murid-Nya, Petrus, "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu
sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah,
melainkan apa yang dipikirkan manusia" (Mat. 16:23). Pola pikir manusia
menghasilkan perilaku yang bersumber dari pola pikir tersebut. Dengan kata
lain, selama pohon itu bukan pohon yang baik, maka ia tidak akan menghasilkan
buah yang baik. Seseorang harus memiliki pola pikir ilahi dan hidup berdasarkan
pola pikir tersebut. Pada waktu Kitab Suci memakai kata "mengenal
Allah," yang dimaksudkan bukan hanya sekadar mengetahui secara kognitif, melainkan
juga hidup berdasarkan apa yang ia tahu.
Bagaimana kita mengetahui seseorang telah mencapai suatu
kedewasaan rohani yang sebagaimana seharusnya. Sesuai dengan pembahasan di
atas, maka rupanya kuantitas keterlibatan seseorang dalam aktivitas keagamaan
tidak dapat dijadikan tolok ukur. Formasi spiritualitas diawali dengan relasi
yang benar dengan Allah, yaitu pada saat seseorang menerima Yesus Kristus
sebagai Juru Selamatnya. Perubahan status dari orang berdosa menjadi orang
kudus tidak secara otomatis menjadikan seseorang dewasa dalam kerohaniannya.
Sebagai orang yang telah menerima anugerah keselamatan ia diharapkan untuk
menghasilkan perbuatan yang sesuai dengan iman yang telah menyelamatkannya.
Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku
menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang
hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang
sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh
pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa
yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rm. 12:1-2).
Lihat juga Galatia 5:13-26, Efesus 4 & 5 dan Yakobus
2:14-26. Bagaimana kita tahu apakah kita sudah tidak serupa dengan dunia ini,
atau telah ada pembaharuan dalam budi kita? Apabila kita tidak memiliki acuan
yang mutlak maka semua akan menjadi relatif. Acuan kita bukan pola pikir dunia
ini atau pola pikir siapa pun juga melainkan firman Tuhan. Seseorang tidak
mungkin akan memiliki pola pikir firman Tuhan apabila ia tidak pernah berusaha
untuk belajar dan memahaminya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mazmur 1:
Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat
orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk
dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang
merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi
aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu
daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Bukan demikian orang fasik:
mereka seperti sekam yang ditiupkan angin. Sebab itu orang fasik tidak akan
tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang
benar; sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju
kebinasaan.
Orang kudus tidak dapat berbuah Roh Kudus di luar firman
Tuhan. Karya Roh Kudus tidak pernah berlawanan dengan firman Tuhan. Karena itu,
seperti yang dinyatakan Tuhan Yesus, setiap orang percaya harus dikuasai oleh
firman Than dan menjadi pelaku firman sehingga ia dapat berbuah banyak:
"Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu,
mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Dalam hal
inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan
demikian kamu adalah murid-murid-Ku" (Yoh. 15:17-18).
Berbuah banyak tercakup di dalamnya adalah melakukan semua
perintah Tuhan. Perintah Tuhan itu adalah tetap berada di dalam persekutuan
yang benar dengan Allah, dengan memelihara kekudusan hidup, mengasihi sesama
seperti mengasihi diri sendiri, serta nienjalankan amanat agung dan mandat
budaya. Tentu saja hal itu sudah sejak awal dinyatakan oleh Tuhan Yesus kepada
murid-murid-Nya:
“ Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal
dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau
menyelamatkan nyawanya, is akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa
kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang
memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat
diberikannya sebagai ganti nyawanya?” (Mat. 16:24-26).
Pernyataan itu kemudian diikuti oleh Paulus yang mengatakan:
Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah
teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu,
bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia (1 Kor.
15:58).
KESIMPULAN SPIRITUALITAS KRISTEN
Kecerdasan spiritualitas tidak pernah terlepas dari relasi seseorang
dengan Allah. Apabila ia menghendaki hidupnya diperkenan oleh Allah, maka tolok
ukur Allah harus menjadi acuan di dalam hidupnya. Kitab Suci memang sudah
menyatakan bahwa manusia harus bertumbuh dalam segala hal ke arah Kristus (Ef.
4:15) sehingga ia dapat mempersembahkan suatu kehidupan yang kudus dan yang
berkenan kepada Allah. Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi sejak
awalnya memang tidak pernah boleh terpisah dari kecerdasan spiritual. Spiritual
yang sejati akan menghasilkan manusia yang tahu bagaimana menggunakan akal dan
emosinya di dunia ini sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuhan Yesus digambarkan
memiliki pertumbuhan yang semestinya selama Ia berada di dunia: "Anak itu
bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada
pads-Nya.... Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan
besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Luk. 2:40, 52).
"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi
Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Rm. 11:36).