Perawan Maria Menurut
Martin Luther
Maria adalah tokoh
penting di dalam Kitab Suci yang dalam sejarah menjadi figur yang
kontroversial. Ia dipuji, dicerca, dihormati, dibenci, dicintai dan ditelaah
disepanjang segala zaman. Begitu banyak puisi, lagu, karya seni Gereja yang
didedikasikan kepadanya, tetapi lebih dari pada itu Maria adalah seorang ibu
rumah tangga yang sederhana, seorang ibu yang melahirkan Allah. Gereja
menempatkan Maria pada posisi yang khusus karena peranannya di dalam sejarah
keselamatan. Walaupun ia dipilih Allah sebagai bundaNya, penghormatan kepada
Maria selalu berakar pada ketaatannya.
Dua ribu tahun yang
lalu, dengan taat Maria mengatakan "Ya!" kepada rencana Allah.
Ketaatan ini telah mereformasi dunia yang dijajah oleh dosa, keserakahan, serta
nafsu kesombongan. Ketaatan ini bukanlah suatu panggilan yang ringan bahkan
hampir mustahil dilakukan tanpa rahmat serta kerahiman ilahi. Maria telah
memberikan kemanusiaannya kepada Allah untuk menebus dunia dari kutuk dosa;
dengan demikian Sabda menjadi "Anak Manusia". Berikut ini
petikan dari Martin Luther tentang Bunda Maria, petikan-petikan ini diambil
dari tulisannya setelah memulai gerakan Reformasi Gereja.
“Apakah persamaan dari
para dayang istana, bangsawan, raja, ratu, pangeran dan Kaisar dunia bila
dibandingkan dengan Perawan Maria, Putri Daud. Ia adalah Bunda dari Allah kita,
Pribadi yang amat agung di bumi ini. Setelah Kristus, dialah permata terindah
dalam kekristenan. Sang Ratu yang ditinggikan di atas segala kebijaksanaan,
kesucian dan ke agungan ini tak akan pernah cukup dipuji”.
“Sungguh pantas
apabila sebuah kereta kencana emas mengiringi dia, dengan ditarik oleh empat
ribu kuda dengan abdi utusan yang meniup sangkakala serta dengan lantang ber
seru: "Lihatlah dia, Bunda Yang Agung, Putri Umat Manusia" tetapi
yang ada hanyalah: seorang Perawan berjalan kaki dalam sebuah perjalanan jauh
untuk mengunjungi Elisabet. Perjalanan ini ditempuhnya walaupun saat itu ia
sudah menjadi Bunda Allah. Bukan merupakan sebuah keajaiban apabila kerendahan
hatinya dapat membuat gunung-gunung melonjak menari sukacita”.
“Melalu perkataannya
sendiri dalam Magnificat (Lukas 1:46-55),dan melalui pengalamannya, Maria
mengajar kita bagaimana caranya mengenal, mengasihi dan memuji Allah... Sejak
awal, umat manusia telah menyimpulkan segala kemuliaan yang diberikan kepada
Maria di dalam sebuah kalimat: "Bunda Allah". Sekalipun manusia
mempunyai lidah sebanyak daun di Pohon, rumput di padang, bintang di langit
atau pasir di lautan, tak seorangpun mampu mengatakan hal yang lebih agung
kepada Maria atau mengenai Maria. Perlu direnungkan dalam hati apakah artinya
menjadi seorang Bunda Allah”.
Dalam rumusan
katekismus yang biasa disebut sebagai Formula atau Buku Concord, Martin Luther
juga menulis sedikit mengenai Bunda Maria sebagai berikut : “OIeh
sebab itu kami percaya, mengajar dan mengaku bahwa Maria secara sejati adalah
Bunda Allah...Maria Iayak menerima penghormatan yang paling tinggi”.
Sumber : Synaxis GOI Edisi November tahun 2007
3 comments:
Saya seorang buddhist' namun saya sudah lama mengikuti acara gereja toh ayah ibu saya tidak melarang saya untuk memilih agama' saya lebih menyukai natal daripada waisak
Saya pernah membaca' bahwa bapak di sorga melindungi kita setiap saat' itu yang membuat saya tertarik
Di tambah lagi ajaran kristiani bukan mengharuskan seseorang membuat sesuatu maaf seperti Islam yg mengharuskan puasa'....
Dan agama ini tidak ribet' bahkan menyenangkan ketika dijalani
Saya pernah berkeinginan menjadi biarawati' namun itu di tentang org tua saya '....
Saya ingin semoga saya bisa menjadi kristiani amin
#veronica chu
#21 tahun
#jakarta
Menjadi Kristen (pengikut Kristus) atau mengikut jalan Tuhan adalah panggilan, Inti dalam ajaran keselamatan ini adalah " KASIH ", (yang tanpa embel-embel) yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari hari, Semoga sister menerima panggilan itu.Tuhan Yesus Memberkati sdri.
Banyak kita hanya tahu Martin apa kata pendeta tetapi jarang membaca sendiri sumber-sumber pada masa itu. saya ada kutip sumber cukup bagus:
"Martin Luther adalah seorang pemikir polos yang hidup dengan kepalanya sendiri, dia adalah tipikal pemikir yang mengisolasi dirinya dari masyarakat, itulah seorang biarawan. Seorang biarawan adalah guru-guru yang mengisolasi dirinya dari masyarakat, dia sibuk dengan pikiran dan perasaannya sendiri, sehingga dia pun sibuk dengan fantasinya sendiri. Jika terlalu lama dia mengisolasi dirinya maka dia berpikir orang lain berpikir seperti dirinya. Martin macam para Pertapa Brahmanisme yang menyembunyikan dirinya di gua. Martin macam Bhiksu yang mengasingkan dirinya di puncak gunung. Martin macam para Sufi yang bersembunyi di gurun dan menari memutar-mutar tubuhnya untuk menemukan hakikat alam semesta. Martin macam anak-anak pesanteren yang menghafal Al-Quran sambil mengoyang-goyangkan kepalanya dan menghafal ratusan mantra. Martin macam anak-anak seminari yang bernyanyi dan mengurung diri dengan Al-Kitab dan mantra-mantra konsili.
Sidharta dengan kehidupan kebiaraannya yang berasal dari pertapaannya tidak mampu menjawab masalah nyata yang dialami masyarakat dunia. Jika setiap Budhis harus mencapai kesempurnaan dengan menjadi biarawan, dengan setiap manusia hidup selibat maka manusia itu musnah secara spesies. Bayangkan jika seluruh manusia pada akhirnya menjadi semilitan Sidharta dan mereka semua memilih menjadi Bhikku di biara. Siapa yang menyediakan makanan untuk para Bhikku itu? Siapa yang menyediakan pakaian untuk para Bhikku itu? Bagaimana manusia mempertahankan jenisnya jika semua hidup selibat? Bukankah para petani yang menanam dan memanen kapas yang membuat para Bhikku dapat berpakaian? Bukankah para petani yang menanam makanan yang membuat para Bhikku dapat makan?
Karena kegelisahannya atas kondisi dunia maka Sidharta memisahkan dirinya dari kenyataan dunia dengan membuat suatu “planet baru” di dalam biara-biaranya yang dikembangkan lebih jauh oleh para Bhikku setelah Sidharta. Biara itu berwujud menjadi model Kepausan Roma, Seminari-Seminari, Sufi-Sufi, Santri-Santri, yang hidup di planet lain yaitu “bumi aksen” untuk menuju Nirwana, Surga, Paradiso, tetapi “bumi nyata” itu tetap tidak berubah. Cara berbiara atau bertapa itu tidak salah karena manusia membutuhkan “momentum untuk sendiri dan menyendiri atau mendekatkan dirinya pada ide-ide ideal atau Tuhan” tetapi ketika manusia memilih itu sebagai jalan hidup manusia maka dia menolak merubah dunia, sebab hanya dinding gereja, Masjid, kuil itulah dunianya."
(http://manifestosenja.com/2013/12/martin-luther-berdarah-judas-germania-evangelische-reich-2/)
Post a Comment