Yefta, seorang prajurit yang gagah berani, ternyata memiliki asal usul kelam. Ibunya adalah perempuan sundal dan bukan istri ayahnya (1). Itulah sebabnya, ia dibenci saudara-saudaranya seayah. Mereka tidak ingin bila suatu waktu dia mendapat harta warisan ayah mereka. Maka mereka mengusir Yefta (2), yang kemudian bergabung dengan geng perampok (3). Sungguh malang. Yefta menjadi korban kehidupan ayahnya yang bermoral rendah dan ketidakadilan keluarganya.
Namun kehidupan Yefta jadi berbalik seratus delapan puluh derajat ketika pemuka Israel di Gilead meminta dia untuk memimpin peperangan melawan bani Amon (5-6). Dari bacaan kemarin, kita tahu bahwa Israel sedang berada di bawah penindasan Filistin dan Amon, sebagai akibat dosa mengkhianati Tuhan. Setelah mengalami hukuman Tuhan, mereka berbalik kepada Tuhan dan Tuhan bersedia memulihkan mereka. Masalahnya, saat itu mereka tidak memiliki pemimpin untuk menghadapi bani Amon yang akan menyerang mereka (Hak. 10:17-18). Tentu saja pemuka Israel jadi pusing karena tidak bisa mencari orang untuk memimpin mereka berperang. Hingga akhirnya mereka menjumpai Yefta dan berjanji akan memberikan mereka otoritas atas Gilead (4-5).
Ini mengherankan Yefta mengingat perlakuan keluarganya sebelumnya. Namun dendam tidaklah menguasai hatinya. Ia tahu bahwa kalaupun ia berhasil mengalahkan bani Amon, itu terjadi karena Tuhanlah yang memberikan kemenangan (9). Maka Yefta membawa seluruh masalah itu kepada Tuhan (11).
Sungguh menarik melihat kesadaran Yefta akan kuasa dan karya Tuhan. Meski mungkin memiliki kepribadian kasar karena bergaul dengan geng perampok, ternyata ia beriman kepada Tuhan. Latar belakang Yefta sebenarnya mirip dengan Abimelekh (Hak. 8:31-9:4). Namun Yefta lebih sadar akan keberadaan Allah dan mau berserah pada-Nya. Melihat Yefta, kita sadar bahwa latar belakang kehidupan tidak bisa menjadi alasan bagi orang untuk tidak percaya Tuhan. Selain itu, jangan salahkan masa lalu atau kondisi keluarga atas keadaan kita pada masa kini.
Hakim-hakim 11:1-11
e-SH versi web: http://www.sabda.org/publikasi/sh/2013/09/09/
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Namun kehidupan Yefta jadi berbalik seratus delapan puluh derajat ketika pemuka Israel di Gilead meminta dia untuk memimpin peperangan melawan bani Amon (5-6). Dari bacaan kemarin, kita tahu bahwa Israel sedang berada di bawah penindasan Filistin dan Amon, sebagai akibat dosa mengkhianati Tuhan. Setelah mengalami hukuman Tuhan, mereka berbalik kepada Tuhan dan Tuhan bersedia memulihkan mereka. Masalahnya, saat itu mereka tidak memiliki pemimpin untuk menghadapi bani Amon yang akan menyerang mereka (Hak. 10:17-18). Tentu saja pemuka Israel jadi pusing karena tidak bisa mencari orang untuk memimpin mereka berperang. Hingga akhirnya mereka menjumpai Yefta dan berjanji akan memberikan mereka otoritas atas Gilead (4-5).
Ini mengherankan Yefta mengingat perlakuan keluarganya sebelumnya. Namun dendam tidaklah menguasai hatinya. Ia tahu bahwa kalaupun ia berhasil mengalahkan bani Amon, itu terjadi karena Tuhanlah yang memberikan kemenangan (9). Maka Yefta membawa seluruh masalah itu kepada Tuhan (11).
Sungguh menarik melihat kesadaran Yefta akan kuasa dan karya Tuhan. Meski mungkin memiliki kepribadian kasar karena bergaul dengan geng perampok, ternyata ia beriman kepada Tuhan. Latar belakang Yefta sebenarnya mirip dengan Abimelekh (Hak. 8:31-9:4). Namun Yefta lebih sadar akan keberadaan Allah dan mau berserah pada-Nya. Melihat Yefta, kita sadar bahwa latar belakang kehidupan tidak bisa menjadi alasan bagi orang untuk tidak percaya Tuhan. Selain itu, jangan salahkan masa lalu atau kondisi keluarga atas keadaan kita pada masa kini.
Hakim-hakim 11:1-11
e-SH versi web: http://www.sabda.org/publikasi/sh/2013/09/09/
Powered by Telkomsel BlackBerry®
0 comments:
Post a Comment